Sabtu, 22 Desember 2018

Cincin Gyges vs Cincin Tolkien


Apakah kisah Lord of The Ring dan The Hobbit karya J. R.R Tolkien terpengaruh oleh Buddhisme, ataukah memang karena sesungguhnya Dharma ada di mana-mana?

Menyaksikan film Lord of The Ring trilogy dan The Hobbit trilogy, rasanya seperti tak asing. Selama ini yang dikenal sebagai film yang amat sangat dipengaruhi oleh Zen Buddhisme adalah Star Wars. Tetapi saat menyimak kisah LOTR, sesuatu Nampak jelas di sana. Cerita fantasi ini mengandung Dharma. Tersirat pesan spiritual terkandung di dalamnya.

Ide yang mengilhami Tolkien mengenai cincin adalah cerita yang ditulis Plato berjudul Ring of Gyges. Dalam bukunya The Republic, Plato menulis tentang Glaukon, seorang tokoh yang mendukung Thrasymakos (seorang dari kaum Sofis*). Dukungan Glaukon kepada argumentasi Thrasymakos yang memiliki pandangan pesimis terhadap manusia, dituangkan dalam kisah Ring of Gyges.


Plato dan Aristoteles
(https://bearskin.org/2015/09/11/the-ring-of-gyges/)

Gyges adalah seorang gembala, yang pada suatu hari, saat sedang menggembalakan ternaknya, ia menemukan seorang raksasa mati di sebuah lembah. Raksasa itu mengenakan sebuah cincin. Gyges mengambil cincin itu, dan mengenakannya di jarinya.

Suatu ketika raja mengumpulkan rakyatnya dalam sebuah pertemuan. Gyges juga hadir. Sambil mendengarkan raja berbicara, ia bermain-main dengan cincinnya dengan cara memutarnya. Ketika cincin itu berputar menghadap ke dalam, ia mendengar teman-temannya berkata,”Di mana Gyges? Ia tidak ada!” Lalu ia memutar lagi cincinnya menghadap keluar. Saat itu teman-temannya dapat kembali melihatnya.

Peristiwa itu menyadarkan Gyges akan kekuatan cincin tersebut. Ia dapat menghilang, tak terlihat. Dengan kekuatannya itulah ia lalu mengikuti permaisuri raja ke kamar tidurnya. Dalam kamar ratu, ia memperlihatkan diri. Ia memberikan sebuah penawaran. Ia berkata, “Wahai Ratu, saya mempunyai sebuah kekuatan. Maukah kau menikah dengan saya?” Sang ratu bersedia, dan lalu mereka membunuh raja dengan mudah, karena Gyges tak terlihat. Setelah itu, Gyges menjadi raja.

Dalam kisah Ring of Gyges Glaukon meneruskan pandangan pesimis Thrasymakos terhadap manusia. Menurutnya, sejauh tidak diketahui siapa-siapa, manusia menyukai apa yang tidak adil (melakukan ketidakadilan). Menurut Glaukon tidak ada satu orangpun yang berniat sungguh-sungguh hidup adil. (Jika ada satu lagi cincin seperti yang dimiliki Gyges, dan dikenakan oleh orang yang baik, tidak ada jaminan orang tersebut tidak akan melakukan hal yang sama dengan yang diperbuat Gyges).  

Kaum Sofis dalam masa kejayaan Athena adalah kaum yang amat ditentang oleh Socrates, Plato dan Aristoteles. Sofisme, bagi Plato, adalah musuh filsafat. Kaum sofis tidak mempercayai adanya kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang pintar, dan menggunakan kepintarannya dalam berargumentasi untuk memutarbalikkan fakta. Sesuatu yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar. Gawatnya lagi, mereka mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan retorika dengan cara mereka, dan menarik bayaran yang tinggi. Retorika yang mereka ajarkan berbeda dengan yang diajarkan oleh Plato dan Aristoteles. Retorika kaum sofis adalah tentang bagaimana cara memenangkan argumentasi, bukan untuk mencari kebenaran.

Kisah Ring of Gyges diungkapkan Glaukon untuk mematahkan pendapat Plato tentang mengapa manusia harus berbuat adil (berbuat baik, hidup berkeutamaan). Bukankah Gyges mendapatkan keuntungan (menjadi raja) dengan ketidakadilannya?

Jika mereka terpojok dalam perdebatan, mereka akan menyerang hal-hal yang bahkan tidak ada hubungannya dengan topik. Misalnya mereka akan menyerang dari sisi keturunan lawan bicaranya, bangsa, ras, dan sebagainya.

Dari Glaukon ke Tolkien 
Jika Gyges pada akhirnya naik tahta dengan membunuh raja berkat cincin yang membuatnya tak terlihat, kisah dalam buku Lord of The Ring karya John Ronald Reuel Tolkien (3 Januari 1892 – 2 September 1973) punya alur berbeda. Tolkien, seorang penyair, philologist asal Inggris dan seorang pemeluk Katolik yang taat, terinspirasi oleh kisah Ring of Gyges. Tolkien mengatakan bahwa kisah Lord of The Ring adalah kisah yang religious. Lewat LOTR ia seperti membantah anggapan Glaukon bahwa tak ada keadilan atau kebaikan dalam diri manusia. Unsur religious terserap di dalam cerita dan symbol-simbol dalam novel fantasi ini.


Lord of The Ring
(https://www.esquire.com/entertainment/tv/a13529805/lord-of-the-rings-series-amazon-details/)

Saya sendiri melihat cerita LOTR resonan dengan konsep buddhisme. Pertama adalah kemelekatan pada sesuatu akan membawa penderitaan. Setiap orang yang ingin memiliki cincin tersebut, akan menderita. Cincin itu bagi saya adalah symbol segala sesuatu yang ingin kita miliki dan kita lekati, seperti kekayaan, popularitas, jabatan atau seseorang, bahkan konsep. Ketika seseorang sudah dipenuhi oleh nafsu untuk memiliki dan menggenggam, ia bagai kena sihir, buta, bahkan menjadi gila.

Dalam kenyataannya, orang sering tunduk pada nafsunya, dan tak juga sadar meski sesungguhnya ia sangat menderita dan mengakibatkan penderitaan orang lain. Gollum adalah sebuah metaphor untuk hal ini. Dan meskipun Tolkien mengatakan bahwa LOTR dipengaruhi oleh konsep pemikiran Katolik, namun di dalamnya juga terdapat reinkarnasi (Gandalf yang kembali dari kematian dan menjadi penyihir putih, serta Smeagul yang berubah dari hobbit menjadi Gollum, makhluk buruk rupa dan menyedihkan sebagai akibat dari membunuh saudaranya). – Ini merupakan hukum sebab akibat. Sedangkan Gandalf mengingatkan saya pada Bodhisattva.

Perjalanan Spiritual
Perjalanan Frodo Baggins membawa cincin untuk dimusnahkan diibaratkan sebagai perjalanan spiritual. Ia melakukan perjalanan bukan untuk mendapatkan sesuatu, tetapi untuk MELEPAS sesuatu. Frodo melakukan perjalanan bukan untuk menemukan harta karun atau ketenaran. Saat kembali ke Shire setelah memusnahkan cincin, tak ada orang yang mengelu-elukannya. Perjalanannya tidak untuk menjadikannya seorang pahlawan. Ia semata-mata hanya merespon untuk menolong kehidupan di Middle earth yang sudah dikepung oleh kekuatan Sauron yang semakin lama semakin besar. Tidakkah kita mengenali Middle earth sebagai dunia kita saat ini?

Sauron Dalam Diri Kita
Sauron dikatakan tak berwujud, tak berbentuk; ia abstrak sekaligus nyata. Ia ada dalam diri kita. Dalam LOTR Sauron disimbolkan sebagai mata (The Eye). The Eye = ‘I’, atau aku (Ego). Jika kita tidak memiliki kesadaran, kita tetap hidup dengan melekati segala sesuatu, ego kita akan semakin besar. Keserakahan, kebencian, kesombongan, perlahan merasuki diri kita. Jika dibiarkan, kekuatannya semakin lama akan semakin besar. Kita akan dikuasai oleh ego. Apa akibatnya? Kerusakan dan penderitaan. Tidakkah itu memang terjadi dalam dunia kita saat ini? Peperangan, penindasan, kerusakan alam, pembabatan hutan besar-besaran (Tolkien menyiratkan kebenciannya pada efek samping industrialisasi dalam LOTR), dan ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Bahkan, untuk skala kecil, adalah konflik dalam keluarga. Dalam The Hobbit (Battle of 5 Armies), masalah bukan disebabkan oleh Smaug, naga penjaga harta karun. Masalah dan peperangan timbul justru dari keserakahan untuk menguasai emas. Yang artinya, penderitaan tidak disebabkan oleh faktor eksternal, sesuatu di luar diri kita. Melainkan berasal dari dalam diri kita sendiri. Sauron hanya bisa dilenyapkan dengan cara belajar melepas.

Pemikiran Yang Non Dualistik
David Loy, seorang guru Zen berpendapat bahwa cerita Lord of The Ring adalah sangat dualistik; kebaikan melawan keburukan/kejahatan. Bahwa Orc harus dimusnahkan sampai tuntas. Satu-satunya kebaikan Orc adalah kematiannya. Saya tidak sependapat. Dalam LOTR tersirat bahwa kebaikan tak dapat dipisahkan dengan keburukan. Dimana ada kebaikan, di situ ada keburukan. Di mana ada keburukan, di situ ada kebaikan. Keduanya ibarat dua sisi koin yang tak dapat dipisahkan. Ini menunjukkan pemikiran yang non dualistik. (CMIIW)

Bersatunya manusia, elf, kurcaci, penyihir, pohon dan hobbit untuk memusnahkan cincin dan melenyapkan kekuatan Sauron dari Middle earth adalah symbol bahwa kita semua adalah bagian dari alam. Kita tak dapat dipisahkan dari alam tempat kita berdiam. Masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab. Ini juga merupakan pemikiran yang non dualistik. Bahwa aku dan orang lain adalah satu, tak ada aku vs liyan. Manusia, elf, hobbit, dan kurcaci adalah satu. Segala sesuatu, saling berhubungan.

Selama kita masih memiliki pemikiran yang dualistik, kita tak akan pernah terbebas dari penderitaan. Kita menjadi tidak inklusif, tertutup, egois dan berpotensi menimbulkan konflik. Kita bahkan mungkin akan menjadi kaum Sofis yang demi uang dan kekayaan, menghalalkan segala cara dalam argumentasi (pada jaman Plato).

Dalam hal pemikiran non dualistik, judul tulisan ini juga menjadi kurang tepat; Cincin Gyges vs Cincin Tolkien. Sebab tanpa Glaukon yang mengisahkan cincin Giges, barangkali Tolkien tak akan membuat kisah Lord of The Ring yang novel maupun filmnya mampu menghibur sekaligus menginspirasi dengan pesan spiritualnya. Saya rasa judul yang tepat adalah, seperti yang ditulis David Loy : THE DHARMA OF THE RINGS (CINCIN DHARMA).




Sumber :
Kelas Filsafat Salihara; Sejarah Filsafat Yunani : Sofisme, oleh Romo A. Setyo Wibowo (dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
Makalah Pengantar Sejarah Filsafat Yunani : Sofisme, oleh Romo A. Setyo Wibowo
https://bearskin.org/2015/09/11/the-ring-of-gyges/
https://www.esquire.com/entertainment/tv/a13529805/lord-of-the-rings-series-amazon-details/



  


     Sofisme merujuk pada aliran filsafat dan Retorika pada periode Yunani Klasik dan Hellenistik, yang dalam pandangan umum dianggap mengajarkan Relativisme moral dan cara berargumentasi yang tampaknya masuk akal namun fallacious (keliru).








Senin, 23 April 2018

SEGALA SESUATU SALING BERHUBUNGAN

Berbagai tempat di belahan bumi ini memiliki cerita-cerita rakyat yang berisi kebijaksanaan dan pesan-pesan akan pentingnya kita merawat alam, tidak merusak, serta hidup dalam harmoni dengan berbagai makhluk lain. Segala sesuatu di alam dan kehidupan ini saling berhubungan. Hal tersebut salah satunya digambarkan dalam cerita rakyat dari Bali berikut ini. Kisah ini juga menyiratkan bahwa gangguan atau ketidknyamanan kadang harus kita terima.






Tokek Tak Dapat Tidur

Suatu malam sang pemimpin terbangun oleh suara bising dari bawah jendelanya.

“Tokek! Tokeek! Tokeekkk!”

Sang Pemimpin menjulurkan kepalanya keluar jendela. Itu adalah si Tokek.

“Tokek, apa yang sedang kamu lakukan? Ini sudah tengah malam. Pulang dan tidurlah.”

“Aku tak dapat tidur,” jawab si Tokek.

“Kunang-kunang terbang di sekitar rumahku. Mereka bersinar berkelap-kelip. Kau harus menghentikan mereka. Kau adalah pemimpin. Lakukanlah sesuatu.”

“Aku akan berbicara dengan kunang-kunang besok pagi,” kata Sang Pemimpin. “Sekarang pulang dan tidurlah.”

Tokek akhirnya pulang sambil menggerutu. “Tokek...tokeekk...tokek...”

Keesokan harinya Sang Pemimpin memanggil Kunang-kunang.

“Apa benar kalian sudah bersinar berkelap-kelip...sepanjang malam? Apakah kalian membuat Tokek terbangun?”

“Benar,” Kunang-kunang menjawab.

“Kami harus bersinar berkelap-kelip sepanjang malam. Kerbau membuang kotorannya di jalan. Tanpa cahaya kami, orang-orang akan menginjak kotoran kerbau!”

“Kalian sungguh bijaksana,” ujar Sang Pemimpin.

“Tetap lakukanlah apa yang sudah kalian lakukan. Kalian boleh pergi.”

Kunang-kunang terbang kembali ke rumah mereka.

Malam harinya Sang Pemimpin kembali terbangun.

“Tokek! Tokeek! Tookeek!”

Sang Pemimpin menjulurkan kepalanya keluar jendela.

“Tokek, pulang dan tidurlah.”

“Tetapi saya tak dapat tidur. Kunang-kunang masih bersinar berkelap-kelip. Kau bilang kau akan menghentikan mereka.”

“Tokek, kunang-kunang harus memberikan cahaya mereka. Kerbau meninggalkan kotorannya di jalan. Tanpa cahaya kunang-kunang, orang-orang bisa menginjak kotoran kerbau.”

“Kalau begitu bicaralah dengan kerbau. Kau adalah pemimpin. Lakukanlah sesuatu!”

Tokek kembali ke rumahnya sambil menggerutu.

“Tokek...tokeek...tookeeek...”

Pagi harinya Sang Pemimpin memanggil Kerbau.

“Kerbau, apa benar kau meninggalkan kotoranmu di jalan?”

“Oh, ya. Hujan sudah menyebabkan lubang-lubang di jalan setiap sore. Jadi saya mengisi lubang-lubang itu dengan kotoran. Jika tidak, orang-orang akan terperosok dan terluka.”

“Kerbau, kau sungguh bijaksana. Tetap lakukan apa yang sudah kau lakukan. Kau boleh pergi.”

Tengah malam, Sang Pemimpin kembali terbangun.

“Tokek! Tokeek! Tookeekk!”

Sang Pemimpin menjulurkan kepalanya keluar jendela.

“Tokek, pulang dan tidurlah.”

“Aku tidak dapat tidur. Kunang-kunang masih berkelap-kelip di sekitar rumahku. Katamu kau akan MELAKUKAN SESUATU.”

“Kerbau mengisi lubang-lubang di jalan yang disebabkan oleh hujan dengan kotorannya. Kunang-kunang menerangi jalan agar orang tidak menginjak kotoran kerbau. Kau harus menerima dan berdamai dengan kunang-kunang.”

“Kalau begitu bicaralah dengan Hujan! Kau adalah pemimpin. LAKUKANLAH SESUATU!”

Tokek kembali ke rumahnya sambil mengomel.

“Tokek...tokeeek...tookeekk...”

Keesokan paginya Sang Pemimpin memanggil Hujan.

“Apa benar kau yang menyebabkan lubang-lubang di jalan setiap sore?”

“Benar. Aku turun sangat deras setiap sore untuk membuat genangan air bagi nyamuk. Jika genangan itu kering, nyamuk akan mati. Jika nyamuk-nyamuk mati, tidak akan ada makanan untuk Tokek.”

“Begitu,” sahut Sang Pemimpin.

“Hujan, kau boleh pergi.”

Pada tengah malam, Sang Pemimpin mendengar, “Tokek! Tookek! Tookeekk!”

Ia menjulurkan kepalanya keluar jendela.

“Tokek, pulang dan tidurlah!”

“Aku masih tak dapat tidur. Kunang-kunang berkelap-kelip terus...kau bilang kau AKAN MELAKUKAN SESUATU!”

“Tokek, dengar baik-baik. Jika Hujan tidak turun, tidak akan ada genangan air. Jika tak ada genangan air, tak akan ada nyamuk. Jika tak ada nyamuk, KAU, TOKEK, tidak akan ada sesuatu untuk makananmu. Nah, sekarang, bagaimana pendapatmu?”

Tokek berpikir.

Jika Sang Pemimpin menyuruh Hujan berhenti turun.
Kerbau akan berhenti mengisi lubang-lubang di jalan, dan Kunang-kunang akan berhenti memancarkan sinarnya...tetapi Tokek tidak akan memiliki Nyamuk untuk dimakan.

“Tokek,” kata Sang Pemimpin.
“Ada beberapa keadaan yang kamu harus menerimanya. Sekarang pulang dan tidurlah.”

Tokekpun pulang ke rumah.

“Tokek...tookekk...tokeek...”

Ia menutup daun jendelanya.
Ia menutup matanya.
Dan iapun jatuh tertidur.
Di luar, Kunang-kunang berkelap-kelip...



Terjemahan dari Gecko Cannot Sleep – A folktale from Bali
Earth Care, World Folktales To Talk About by Margaret Read Macdonald








Kamis, 22 Maret 2018

PIDATO CEO GOOGLE DAN BIAWAK


Ada sebuah kejadian ketika saya hendak pulang ke Jakarta dari Bangkok. Saat itu kami naik pesawat dari bandar udara Don Mueang. Karena tidak ingin mengulang kejadian saat dari Bangkok menuju Chiang Mai - saat itu kami harus sport jantung karena sebentar lagi waktu boarding sementara kami masih antri untuk check in, maka jauh sebelum jam lepas landas, kami sudah sampai di bandara. Untung pada waktu ke Chiang Mai kami tidak ketinggalan pesawat. 

Kami sampai di Don Mueang setengah hari sebelum pesawat lepas landas. Agak lebay kedengarannya, tapi itu karena kami berangkat dari kota Pattaya. Jadi kami harus memperhitungkan jarak dan kemacetan yang biasa terjadi di kota Bangkok. Ternyata kami sampai lebih cepat karena kebetulan jalanan lancar. Tiga jam sebelum boarding, kami sudah check in. Benar-benar well prepared. Kami sudah memperhitungkan antrian check in yang pasti bakal mengular. Benar saja. Tetapi karena masih banyak waktu, saya mengantri sambil kipas-kipas bangga karena perhitungan saya tepat.

Hari itu kami puas mengelilingi bandara Don Mueang. Naik, turun, naik lagi. Makan sandwich, duduk sambil mendengarkan Ed Sheeran, pokoknya, Perfect. Satu saat ketika sedang antri luggage wraping, kami menyaksikan pertengkaran dengan bahasa yang tidak kami mengerti. Sepertinya mereka sepasang suami istri, separuh baya, dengan barang bawaan sebanyak satu supermarket.

Meski antrian check in cukup panjang, saat kami selesai dan memasuki ruang tunggu, masih tersedia waktu yang lumayan. Hati saya benar-benar tenang. Saya duduk sambil menarik nafas lega. Tinggal menunggu, dan malam ini kami sudah akan berada lagi di Bogor. Saya mengingat lagi perjalanan kami selama sepekan ini -Bangkok, Chiang Mai, Chiang Rai, Pattaya. Rasanya waktu cepat berlalu. Tidak terasa kami sudah akan kembali pulang, dan lusa kembali mengajar seperti biasa.

Di ruang tunggu ada layar yang menayangkan sebuah iklan yang terus menerus diulang. Saya tidak mengerti artinya, tapi saya suka iklan tersebut. Yang paling saya suka dari iklan itu adalah adegan berlari. Di situ digambarkan seorang gadis yang berlari hendak menemui pasangannya yang akan naik sebuah kapal laut. Gadis itu berlari keluar dari gedung bertingkat, ke jalan, melewati pasar, naik tuk-tuk, berlari lagi sampai ke dermaga. Tapi terlambat. Si pria sudah berada di atas kapal, dan sudah bergerak menjauhi dermaga. Si gadis hanya mengangkat bahu. Namun tiba-tiba gadis itu melompat ke air. Itulah endingnya.

Saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa gadis itu harus melompat, bukan kapal itu yang memutar arah. Sedang berpikir demikian, tiba-tiba terdengar suara jeritan. Ketenangan dan kedamaian saya terusik. Bukan jeritan satu orang, tapi beberapa orang. Spontan saya dan juga beberapa orang lain menoleh ke arah datangnya suara.

Ruang tunggu itu cukup padat. Saya tidak bisa menemukan penyebab jeritan dan orang yang menjerit. Yang nampak hanyalah kerumunan manusia.

Suara-suara orang yang menjerit itu semakin keras, dan beberapa orang terlihat naik ke atas kursi. Kami saling berpandangan dan bertanya-tanya, ada apa gerangan. Saya sempat berpikir ada orang yang mengamuk atau ada seorang teroris. Mungkin teroris itu membawa senjata. Bagaimana senjata itu bisa lolos dari pemeriksaan? Tapi kenapa orang-orang itu melihat ke bawah, ke lantai? Apakah orang-orang itu naik ke atas kursi supaya bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi?

Saya baru saja hendak beranjak mendekati kerumunan itu ketika pertanyaan-pertanyaan saya tadi segera terjawab. Seekor biawak yang cukup besar muncul dari bawah kursi seberang kursi saya, merangkak menyeberangi gang menuju ke arah saya! Dengan panik, tanpa pikir panjang lagi saya langsung melompat ke atas kursi, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Dan, reaksi orang-orang itu, yang menjerit-jerit melihat biawak, juga menular kepada saya. Biawak itu merangkak di bawah kursi, berbelok ke kanan lalu berjalan di gang di antara deretan kursi.

Ruangan itu menjadi gempar. Hampir sebagian besar sudah berdiri di kursi masing-masing. Bagaimana seekor biawak bisa nyasar berada di ruang tunggu bandara? Beberapa orang mulai mengambil gambar, memotret dan merekam ‘si teroris’ itu. Suara jeritan sudah tidak ada, berganti dengan suara tawa. Di satu sisi saya merasa lega karena dugaan orang mengamuk atau teroris itu tidak benar. Ternyata hanya seekor biawak yang tersesat. Tetapi ‘hanya’ itu sudah cukup membuat heboh

Biawak itu masih berjalan-jalan, diikuti segerombolan orang yang hendak memotret dan merekam. Seorang turis dari India malah menyapa biawak itu dengan ramah. “Hello,” katanya. Sementara biawak mondar-mandir kebingungan karena tiba-tiba dikerumuni papparazi, petugas bandara juga sibuk ke sana ke mari dengan wajah tegang. Tidak jelas apa yang mereka lakukan. Mungkin mereka bingung bagaimana cara menangkap si biawak.

Saya masih berdiri di atas kursi, mengikuti biawak dengan pandangan mata. Dua orang ibu di kiri depan saya sudah duduk kembali di kursinya tetapi dengan kaki diangkat. Perempuan di hadapan saya berjongkok di kursinya. Saya melihat ke sekeliling. Saat itulah saya menyadari ada beberapa orang yang tetap tenang, tidak terganggu oleh kejadian barusan. Mereka tetap duduk di kursi dengan posisi biasa, bahkan saat biawak melintas di depan mereka. Raut wajah mereka menunjukkan seperti tidak terjadi apa-apa. Salah satu dari mereka hanya menggeser kakinya sedikit ketika biawak nyelonong begitu saja tanpa permisi. Kerumunan papparazi dadakan itu pun sungkan, mereka membubarkan diri kembali ke tempat duduk masing-masing

Saya tertegun. Perlahan, saya kembali duduk. Bagaimana segelintir orang tersebut bisa begitu tenang di tengah situasi yang sempat chaos seperti tadi? Pertanyaan bagaimana seekor biawak bisa mondar-mandir di ruang tunggu bandara sudah tak penting lagi. Perhatian saya beralih pada sikap tenang mereka.

Reaksi vs. Respons

Saya duduk kembali, lalu kemudian teringat sebuah pidato yang diucapkan CEO Google, Sundar Pichai yang berasal dari India. Dalam pidatonya yang inspiratif, ia berkisah tentang kecoa. Di sebuah restoran, seekor kecoa tiba-tiba terbang dan mendarat di seorang wanita. Dia mulai berteriak ketakutan. Reaksinya menular, karena semua orang di kelompoknya juga bereaksi menjadi panik. Wanita itu akhirnya berhasil mendorong kecoa tersebut pergi tapi...kecoa itu mendarat di pundak wanita lain dalam kelompok. Sekarang, giliran wanita lain dalam kelompok itu melanjutkan drama.

Seorang pelayan wanita maju untuk menyelamatkan mereka. Dalam aksi lempar kecoa itu, akhirnya si kecoa jatuh di hadapan pelayan wanita. Pelayan wanita berdiri kokoh, menenangkan diri dan mengamati perilaku kecoa di mejanya.

Ketika dia cukup percaya diri, ia meraih kecoa itu dengan jari-jarinya dan melemparkannya keluar dari restoran.

Sang CEO, sambil menyeruput kopi bertanya-tanya, apakah kecoa yang bertanggung jawab atas perilaku heboh mereka? Jika demikian, mengapa pelayan wanita itu tidak terganggu?

Kejadian yang dikisahkan dalam pidato Sundar Pichai, kebetulan agak mirip dengan kejadian barusan, pikir saya. Tapi tentu saja saya tidak berada dalam posisi pelayan wanita yang berdiri kokoh dan bersikap tenang. Saya adalah termasuk wanita heboh pelaku drama. Tapi saat ini, saya ingin berperan sebagai CEO dan bertanya,

“Lalu apa yang bisa saya dapat dari kejadian tadi?”

Dari tempat saya duduk saya berpikir...kenapa saya dan sebagian besar orang-orang di sini begitu panik, sedangkan empat orang atau lebih di sebelah kanan sana bisa bersikap tenang, juga dua orang berjubah coklat di deretan depan itu? Berarti bukan karena biawaknya, tapi karena respon yang diberikan itulah yang menentukan. Kecoa akan tetap menjijikkan selamanya, biawak akan nampak mengerikan, begitu juga dengan masalah. Reaksi wanita terhadap kecoa, reaksi saya terhadap biawak, atau terhadap masalah, yang sebenarnya lebih menciptakan kekacauan, melebihi dari masalah itu sendiri.

Kisah pidato CEO Google yang menyebar lewat pesan Whatsapp itu seperti ditujukan kepada saya. Saya membayangkan Sundar Pichai seperti berbicara langsung kepada saya, apa hikmah di balik kisah inspiratif dari pidato ini?

Para wanita bereaksi, sedangkan pelayan merespon. Reaksi selalu naluriah sedangkan respon selalu dipikirkan baik-baik. Sebuah cara yang indah untuk memahami HIDUP. Orang yang bahagia bukan karena semuanya berjalan dengan benar dalam kehidupannya. Dia bahagia karena sikapnya dalam menanggapi segala sesuatu di kehidupannya benar!

Suasana ruang tunggu kembali tenang seperti semula. Biawak itu sudah tidak kelihatan lagi, mungkin dalam perjalanan pulang kembali ke Sungai Chao Praya. Pengumuman untuk boarding terdengar dari pengeras suara, dan orang-orang serentak berdiri tidak sabaran, seperti takut tidak kebagian kursi di pesawat. Antrian menjadi simpang siur. Chaos kedua terjadi, kali ini reaksi mendengar suara pengumuman. Seperti ada sebuah dorongan, saya menoleh ke sebelah kanan. Empat orang itu masih bersikap tenang, menunggu dengan sabar. Lalu pandangan saya alihkan ke deretan depan. Dua orang berjubah coklat itu juga masih duduk, sikapnya rileks, ceria, tidak ikut berdesak-desakan.

Indahnya sikap mereka, pikir saya dalam hati. Bagi saya, kisah dalam pidato CEO Google itu benar-benar terjadi pada saya. Pesan dari kejadian itu begitu membekas, tidak hanya sekedar mengakui bagus, inspiratif, dishare, lalu dibuang. Memang sulit untuk memberi respon secara benar, tetapi bukan mustahil. Hormat saya untuk mereka yang tetap tenang itu, mereka adalah ‘Pidato CEO’ di kehidupan nyata.



Bangkok, 22 November 2017



Rabu, 21 Maret 2018

Live In Peace





Pernah suatu ketika, saya sedang berada di Singapura. Seorang pengusaha, yang termasuk orang terkaya di negara itu, mengundang saya untuk sarapan di rumahnya dan bertemu dengan keluarga pengusaha itu, istri serta anak-anaknya. Orang ini barangkali adalah impian bagi kita, bagi semua orang. Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pengusaha sukses, kaya raya, bahkan yang terkaya di Singapura; baik hati, dan dermawan. Dia adalah sosok ideal, siapapun ingin menjadi seperti dia. Sukses dan kaya.

Selama saya berada di Singapura, setiap hari pengusaha ini mengundang saya untuk sarapan. Macam-macam makanan yang disediakan. Setelah menawarkan makanan ini dan itu, mulailah pengusaha itu bercerita tentang masalahnya.

Sambil makan, saya mendengarkan masalah yang dikemukakan pengusaha tersebut. Ternyata, seorang terpandang dan kaya raya di Singapura, memiliki masalah yang sama dengan orang kebanyakan. Dia mulai mengeluh soal anak lelakinya yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Tidak punya arah, kurang bekerja keras, dan sebagainya. Ia juga bercerita tentang masalah karyawannya yang menurutnya kurang motivasi dan kurang rajin. Ia yang memiliki segalanya, juga tak luput dari masalah yang dialami setiap orang.

Saat sedang berada di rumahnya yang begitu luas dan indah, saya berjalan ke arahnya di ruang tamu. Saya melihat dia sendirian. Di tengah ruangan yang megah dan luas itu, ia nampak begitu kecil; seorang diri sedang memainkan Ipadnya. Melihat itu, saya menyadari betapa kesepiannya ia. Seketika, saya merasa kasihan padanya

Kisah ini dituturkan oleh Ajahn Brahmali dalam acara Ajahn Brahmali Indonesia Roadshow 2018 yang berisi talk show dan peluncuran bukunya bertajuk Live In Peace. Acara yang diselenggarakan pada tanggal 4 Maret 2018 lalu di Podium Lippo Ekalokasari Plaza Bogor ini diprakarsai oleh Ehipassiko Foundation. Tak hanya talk show dan peluncuran buku Ajahn Brahmali yang berjudul Murnikan Batinmu Sendiri, tetapi pada kesempatan itu ada juga acara amal berupa lelang lukisan. Hasil dari penjualan lukisan tersebut akan digunakan untuk membantu orang-orang di pedesaan yang tidak mampu. Dalam kesempatan roadshow kali ini Ajahn Brahmali berkunjung ke enam kota dalam enam hari, yaitu Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor, Gorontalo dan Makassar.



Ajahn Brahmali lahir di Norwegia tahun 1964. Beliau pertama kali tertarik pada ajaran Buddha pada usia 20an setelah berkunjung ke Jepang. Setelah menyelesaikan gelar sarjana teknik dan keuangan, ia memulai latihan monastiknya sebagai anagarika (yang menjalani delapan sila) di Inggris, di Wihara Amaravati dan Chithurst.

Setelah mendengar ajaran dari Ajahn Brahm, ia memutuskan pergi ke Australia untuk berlatih di Wihara Bodhinyana. Ajahn Brahmali sudah tinggal di Wihara Bodhinyana sejak tahun 1994, lalu ditahbis sebagai bikkhu oleh Ajahn Brahm pada tahun 1996.

Ajahn Brahmali berasal dari keluarga terpandang dan kaya di Norwegia, yang juga termasuk negara paling kaya di dunia. Tetapi ia memutuskan untuk meninggalkan itu semua dan memilih jalan hidup sebagai bikkhu. Mirip dengan Pangeran Sidharta yang meninggalkan istana berikut kemewahannya, mengembara hingga akhirnya mencapai pencerahan tertinggi.




Kisah yang dituturkan oleh Ajahn Brahmali di atas merupakan pengalamannya saat beliau mengunjungi Singapura. Mungkin sudah nasib para bikkhu, bahwa setiap kali bertemu orang atau umat, mereka akan menggunakan kesempatan itu untuk curhat mengenai masalahnya, ujarnya, yang disambut tawa para hadirin.

Banyak orang beranggapan bahwa dengan mengejar sesuatu yang bersifat duniawi, mereka akan mencapai kebahagiaan. Mereka berlomba-lomba meraih sesuatu, menggunakan seluruh energi dan daya upayanya untuk memenuhi keinginannya.

Hingga suatu saat, kematianpun tiba. Segala usaha dan jerih payahnya harus ditinggalkan. Tak ada satupun kekayaan atau keluarganya yang dapat dibawanya saat kematian tiba. Bahkan terkadang saat belum matipun, kita terpaksa harus berpisah dengan harta atau orang yang kita kasihi.

Banyak masalah di dunia ini, entah itu masalah politik, perebutan kekuasaan, peperangan, hingga perpecahan keluarga, akarnya berasal dari nafsu keinginan. Memang lumrah jika manusia menginginkan kebahagiaan, tetapi banyak manusia mencari kebahagiaan ke arah yang salah, demikian kata Ajahn Brahmali. Ironisnya, semakin seseorang mengejar kebahagiaan, dia justru semakin menjauh dari kebahagiaan itu sendiri. Contohnya, seorang suami yang mengharapkan istrinya bersikap begini atau begitu, dan ketika istrinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka ia akan kecewa. Begitu juga sebaliknya.

Atau orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seperti ini atau seperti itu, mereka akan menderita ketika ternyata anaknya tidak menjadi seperti yang diinginkan. Saya akan bahagia jika bisa meraih ini, saya akan bahagia jika mendapatkan itu, tetapi ketika berhasil meraih apa yang kita inginkan, kita malah ingin meraih lebih, dan lebih lagi. Justru terkadang, semakin kita berhasil meraih keinginan kita, kita malah semakin merasa hampa dan terasing.

Ajahn Brahmali memberikan contoh lagi tentang seorang raja yang memiliki wilayah luas, tanah yang subur, kuda-kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Suatu ketika, seorang dari kerajaannya datang menghadap kepadanya. Ia mengatakan kepada raja, bahwa di utara, ada sebuah kerajaan yang tidak begitu besar, tetapi amat subur dan juga memiliki kuda-kuda serta gajah yang banyak jumlahnya. Orang itu bertanya kepada raja, apa yang akan dilakukan oleh baginda. Raja itu menjawab, “Oh, saya akan menyerbu kerajaan itu, supaya rajanya tunduk pada saya, dan wilayahnya menjadi bagian wilayah saya.”

Lalu datanglah seseorang dari selatan melapor kepada raja, bahwa di selatan ada sebuah kerajaan kecil yang subur, dengan kuda-kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Raja itu juga mengatakan, “Saya akan menyerbu kerajaan itu, supaya rajanya tunduk pada saya, dan wilayahnya menjadi bagian wilayah saya.” Hal yang sama dikatakan oleh raja ketika ada orang dari barat dan timur, melaporkan bahwa ada kerajaan tetangga yang subur, dengan kuda dan gajah yang banyak jumlahnya. Ini adalah cermin dari keinginan, tidak akan pernah ada habisnya. Utara, selatan, barat dan timur sudah dikuasai, lalu seluruh planet bumi ini ingin dikuasai juga.



Lima Perenungan

Dalam bukunya Murnikan Batinmu Sendiri, Ajahn Brahmali memberikan lima contoh perenungan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perempuan, laki-laki, perumah tangga maupun kaum monastik. Perenungan ini sangat bermanfaat untuk mengurangi kotoran batin dan menghadirkan kualitas batin yang positif.

Kelima perenungan itu adalah :

1.    Perenungan Ketuaan
2.    Perenungan Sakit
3.    Perenungan Kematian
4.    Perenungan Berpisah dari yang Disayang dan Menyenangkan
5.    Perenungan Kita Adalah Pewaris Karma Sendiri                                                                                                                                                                                                                        

     
Lelang lukisan yang hasilnya diperuntukkan bagi keluarga tidak mampu di pedesaan



Acara di hari minggu itu banyak menyebut soal kematian. Sebagai penutup, moderator acara Pak Handaka Vijjananda memberikan kesimpulan, bahwa hidup kita ini diperbudak oleh nafsu, sehingga terus bergolak. Hidup kita menjadi tidak tenang, tidak tentram. Ada investasi yang lebih baik, yaitu kualitas batin, spiritual. Lalu, jika seseorang meninggal, apakah dia benar-benar 'Rest In Peace'? Pak Handaka mengatakan, lihatlah bagaimana semasa dia hidup. Jika dia 'Live in Peace', maka matinyapun akan 'Rest in Peace. 
Sebagai tambahan, Bapak Handaka Vijjananda adalah pendiri Ehipassiko Foundation, memiliki tiga orang anak kandung dan anak asuh sebanyak 600 orang. 



Ajahn Brahmali memberikan tanda tangan di buku beliau










Bogor, 4 Maret 2018